Home »
Sejarah Islam
» Masjid Sayyidah Zainab Damaskus, Integrasi Segala Bentuk Keindahan
Masjid Sayyidah Zainab Damaskus, Integrasi Segala Bentuk Keindahan
Written By Em Yahya on Sabtu, 06 April 2013 | 15.48
Fiqhislam.com - Salah satu tujuan ziarah dan wisata ruhani menarik lain di Damaskus, Suriah, adalah Masjid Sayyidah Zainab. Masjid anggun sekaligus makam bergaya Iran ini terletak di selatan Damaskus. Masjid ini menarik minat peziarah Muslim Syiah dari Iran dan seluruh dunia karena arsitektur keramiknya yang kebiru-biruan dan adanya makam Sayiddah Zainab, putri Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.
Sebagian besar wisatawan atau peziarah yang mengunjungi Damaskus kerap melewatkan makam Sayyidah Zainab, namun keberadaannya sangat berharga sebagai sebuah bangunan indah dan pemandangan penuh emosi bagi Muslim Syiah di luar Karbala dan Najaf di Irak. Mengunjungi tempat ini begitu mudah dengan menggunakan taksi, dan pengunjung non-Muslim pun dipersilakan datang, namun terbatas di luar area makam.
Makam dan Masjid Sayiddah Zainab diyakini merupakan bekas rumah Siti Zainab, putri Ali bin Abi Thalib (Khalifah Rasyidah keempat). Dia ditawan oleh tentara Yazid bin Muawiyah setelah pembantaian saudara-saudaranya, Hassan dan Hussein, di Karbala dan Najaf. Bagi Muslim Syiah saat ini, ketika keluarga Ali dikhianati adalah saat yang menentukan dan paling tragis dalam sejarah mereka. Dus, suasana di kompleks Masjid Sayyidah Zainab bukanlah sebuah ritual atau ibadah yang tenang dan senyap, namun gairah berkabung yang diruapi ratapan, nyanyian, tangisan dan 'penyiksaan' diri dengan memukul-mukul dada.
Adapun masjidnya sendiri dibangun Sejak 1990-an, di atas sebuah makam yang sudah ada sebelumnya. Memang lokasi masjid ini agak sedikit sulit ditemukan, ia bagai tersembunyi di balik deretan toko, pasar dan hotel-hotel. Untuk menemukannya, cukup dengan melihat salah satu menara biru yang menjulang, atau lebih baik lagi dengan mengikuti arus peziarah berjubah hitam yang mengalir menuju pintu masuknya.
Masjid ini terdiri dari sebuah halaman luas dengan bangunan di tengahnya. Secara arsitektur, masjid ini memiliki semua ciri-ciri masjid khas Iran; dekorasi hiasan yang menonjolkan keramik biru, lapisan emas, dan cermin kaca. Masjid ini dilindungi kubah emas berkilauan.
Halaman masjid biasanya penuh dengan pria dan wanita yang berbaris dalam lingkaran, melagukan kidung dalam bahasa Persia atau Arab sambil memukul-mukul dada mereka. Seringkali aksi ini sengaja direkam dengan kamera video. Adegan ini dipimpin oleh seorang imam.
Ketika bernyanyi dan memukul dada, aliran air mata menetes deras di pipi mereka, seolah-olah mereka merasakan tragedi pedih yang dialami Zainab ketika kehilangan saudara dan menjadi tawanan. Dalam ritual ini, seolah-olah mereka menghadiri sendiri pemakaman Zainab. Dan itulah cara Syiah memandang peristiwa yang menimpa cucu Rasulullah.
Kompleks makamnya sendiri terbagi menjadi dua bagian; untuk pria dan wanita. Alas kaki harus ditinggalkan di depan pintu makam. Ruangan makam, walau relatif kecil namun selalu ramai. Ruang untuk jamaah wanita dan pria hanya dibatasi oleh dinding kayu tipis. Ratap dan isak tangis dari kedua bagian ini saling sahut-bersahutan ke sisi yang lain.
Tak hanya dari ruangan wanita, dari ruangan ziarah kaum pria pun isak tangis yang terdengar tak kalah serunya. Semua yang hadir, tua ataupun muda duduk membentuk lingkaran sambil memukul dada, menangis dan meratap. Saking ekstasenya, beberapa orang bahkan melemparkan diri ke dinding makam, memeluk, memutari dan menghujaninya dengan ciuman. Yang lain berlutut dan berdoa, dahi mereka menempel pada serpihan batu yang diambil dari bumi Karbala.
Para sejarawan mengatakan bahwa Mousa Murtadha—kakek sang penjaga makam—membangun kompleks makam dari campuran batu, bata dan kayu. Pada 1870 langit-langit makam yang hancur direnovasi dengan bata dan diperkuat kerangka kayu oleh Salim Murtadha, yang memberikan hak pemeliharaan makam kepada anaknya, dan kemudian penerusnya yang tertua. Saat ini komplek makam Sayyidah Zainab dikelola oleh sebuah komite yang diketuai bersama oleh Hani Murtadha dan Mohammad Ridha Murtadha.
Pada 1952, Mohammad Ridha Murtadha menyiapkan skema kompleks Masjid Sayyidah Zainab dengan luas 150 x 190 meter persegi; luas halaman 90 x 90 meter persegi dan luas ruang utama masjid 30 X 30 meter persegi. Lantai masjid ditutupi ubin marmer berkilau. Masjid ini memiliki empat pintu gerbang, masing-masing selebar empat meter dengan serambi seluas empat meter pula.
Atap masjid setinggi 10 meter ditutupi dengan keramik dan porselen Iran nan indah. Kubahnya dilapisi lempengan emas murni yang membuatnya berkilauan di siang maupun malam hari, kian menarik dipandang dari segala penjuru.
Jika arsitektur dianggap sebagai cetakan seni terintegrasi, maka Masjid Sayyidah Zainab merepresentasikan nilai estetika dan arsitektur Islam modern. Ia memperkaya khazanah Islam dan warisan dunia karena mempertautkan semua bentuk keindahan seni; fotografi, ornamen, kaligrafi, selain seni terapan seperti porselen, cermin, kaca, dekorasi, karpet tenun, dan balutan pencahayaan.
Untuk memperluas area masjid, berdasarkan rekomendasi Menteri Waqaf dan Departemen Perumahan, komite pembangunan membeli beberapa real estate di sebelahnya pada 1979 dan mengalokasikan anggaran yang diperlukan untuk memulai proyek perluasan yang hingga kini belum terlaksana.
Komite ini menjadikan masjid sebagai sebuah usaha wisata religius yang digarap secara profesional dengan karyawan sebanyak 90 orang. Salah satu tugas komite lainnya adalah mendanai dan melindungi masjid serta mengelola keuangannya. Kini Masjid Sayyidah Zainab merupakan salah satu situs wisata religi di Suriah, dikunjungi oleh lebih dari satu setengah juta orang tiap tahunnya.
republika.co.id
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Labels:
Sejarah Islam
0 comments:
Posting Komentar